Jumat, 19 Agustus 2016

Makna hadits man ahya sunnaty

๐Ÿ”˜ ุฅِุญูŠุงุกُ ุณُู†َّุฉِ ุงู„ุฑَّุณُูˆู„ِ ุตู„ّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„َّู….
َ
☑ ุฑَูˆَู‰ ุงู„ْุจَูŠْู‡َู‚ِูŠُّ ุฃَู†َّ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„ู‡ِ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„َ:

"ู…َู†ْ ุฃَุญْูŠَุง ุณُู†َّุชูŠ ุนِู†ْุฏَ ูَุณَุงุฏِ ุฃُู…َّุชูŠ ูَู„َู‡ُ ุฃَุฌْุฑُ ุดَู‡ِูŠุฏٍ"،

ู…َุนْู†َู‰ ุงู„ْุญَุฏِูŠุซِ ุฃَู†َّ ุงู„َّุฐِูŠ ูŠَู‚ُูˆู…ُ ุจِุฅِุญْูŠَุงุกِ ุดَุฑูŠุนَุฉِ ุงู„ุฑَّุณُูˆู„ِ

ููŠ ุงู„ْูˆَู‚ْุชِ ุงู„َّุฐِูŠ ุชَูْุณُุฏُ ูِูŠู‡ِ ุงู„ุฃُู…َّุฉُ ูŠَูƒُูˆู†ُ ู„َู‡ُ ุซَูˆَุงุจُ ุงู„ุดَّู‡ِูŠุฏِ

ุงู„ْู…ُุฌَุงู‡ِุฏِ ููŠ ุณَุจูŠู„ِ ุงู„ู„ู‡ِ، ูˆุงู„ุดَّู‡ูŠุฏُ ุฏَุฑَุฌَุชُู‡ُ ุนَุงู„ِูŠَุฉٌ ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„ู‡،ِ

ูَู‚َุฏْ ูˆَุฑَุฏَ ููŠ ุงู„ْุญَุฏِูŠุซِ ุงู„ุตَّุญูŠุญِ ุฃَู†َّ ู„ู„ุดَّู‡ِูŠุฏِ ู…ِุงุฆَุฉَ ุฏَุฑَุฌَุฉٍ

ููŠ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ู…َุง ุจَูŠْู†َ ุงู„ุฏَّุฑَุฌَุฉِ ูˆุงู„ุฏَّุฑَุฌَุฉِ ูƒَู…َุง ุจَูŠْู†َ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ูˆุงู„ุฃَุฑْุถِ

ูˆَู‚َุฏْ ูˆَุฑَุฏَ ุฃَู†َّ ู…َุง ุจَูŠْู†َ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ูˆุงู„ุฃَุฑْุถِ ู…َุณِูŠุฑَุฉُ ุฎَู…ْุณِู…ِุงุฆَุฉِ ุนَุงู…ٍ.



✔ ูˆَุงู„ุณُّู†َّุฉُ ููŠ ูƒَู„ุงู…ِ ุงู„ุฑَّุณُูˆู„ِ ู…َุนْู†َุงู‡َุง ุงู„ุดَّุฑِูŠุนَุฉُ

ุงู„َّุชูŠ ู‡ِูŠَ ุงู„ْุนَู‚ِูŠุฏَุฉُ ูˆุงู„ุฃَุญْูƒَุงู…ِ.


๐Ÿ“Œ ูˆَู„َูŠْุณَ ู…َุนْู†َุงู‡َุง ุงู„ุดَّู‰ْุกَ ุงู„َّุฐูŠ ููŠ ูِุนْู„ِู‡ِ ุซَูˆَุงุจٌ ูˆَู„َูŠْุณَ ููŠ ุชَุฑْูƒِู‡ِ ุนِู‚َุงุจٌ ูَุฅِู†َّ ู‡َุฐَุง ุงู„ْู…َุนْู†َู‰ ุงู„ุซَّุงู†ูŠَ ู‡ُูˆَ ุงุตْุทِู„ุงุญُ ุงู„ْูُู‚َู‡َุงุกِ،


✔ ูˆَู…َุนْู†َู‰ "ุฃَุญูŠَุง ุณُู†َّุชูŠ" ู‚َุงู…َ ุจِุชَุนَู„ُّู…ِ ูˆَุชَุนْู„ِูŠู…ِ ุงู„ْุนَู‚ูŠุฏَุฉِ

ูˆَุงู„ุฃَุญْูƒَุงู…ِ ุงู„ุถَّุฑُูˆุฑِูŠَّุฉِ ูˆَุงู„ุฃَู…ْุฑِ ุจِุงู„ْู…َุนْุฑُูˆูِ

ูˆุงู„ู†َّู‡ْูŠِ ุนَู†ِ ุงู„ْู…ُู†ْูƒَุฑِ ุจِุฌِุฏٍّ ูˆَู‡َุฐَุง ุงู„َّุฐูŠ ูŠُุณَู…َّู‰ ุฌِู‡َุงุฏَ ุงู„ْุจَูŠَุงู†ِ

ูˆَู‡ُูˆَ ุงู„ุขู†َ ุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ْุฌِู‡َุงุฏِ ู„ุฃَู†َّู‡ُ ุงู„ْุฌِู‡َุงุฏُ ุงู„ْู…َู‚ْุฏُูˆุฑُ ุนَู„َูŠْู‡ِ،

ูَุฃَูْุถَู„ُ ุงู„ْุนَู…َู„ِ ุงู„ุขู†َ ู‡ُูˆَ ุชَุนَู„ُّู…ُ ูˆَุชَุนْู„ِูŠู…ُ ุงู„ุฅูŠْู…َุงู†ِ

ู„ุฃَู†َّ ุงู„ุฃُู…َّุฉَ ู‚َุฏْ ูَุณَุฏَุชْ ูˆَู‚َู„َّ ู…َู†ْ ูŠُุนَู„ِّู…ُ ุนَู‚ِูŠุฏَุฉَ

ุฃَู‡ْู„ِ ุงู„ุณُّู†َّุฉِ ูˆุงู„ْุฌَู…َุงุนَุฉِ ูˆَูŠُุฏَุงูِุนُ ุนَู†ْู‡َุง ููŠ ู‡َุฐَุง ุงู„ุฒَّู…َู†ِ

ุญَุชَّู‰ ุตَุงุฑَ ู…َุฐْู‡َุจُ ุฃَู‡ْู„ِ ุงู„ุณُّู†َّุฉِ ูƒَุงู„ْูŠَุชِูŠู…ِ ุงู„َّุฐูŠ ู„ุง ูƒَุงูِู„َ ู„َู‡ُ.

TAKDIR DAN LOGIKA

Hikmah

Ada dua orang bersahabat,
๐Ÿ‘‰yang satu bernama "Logika"
๐Ÿ‘ˆdan yang satunya lagi bernama "Takdir".

Keduanya naik mobil, dalam sebuah perjalanan yang panjang…

Di tengah jalan mobil mereka kehabisan bahan bakar dan mogok.

Keduanya berusaha melanjutkan dengan berjalan kaki sebelum datang waktu malam.

Tapi sebelum itu keduanya berusaha menemukan tempat
beristirahat, setelah itu baru melanjutkan lagi perjalanan.

๐Ÿ‘‰Si Logika memutuskan untuk tidur di bawah sebatang pohon..

๐Ÿ‘ˆSedangkan si Takdir memilih tidur di tengah jalan.

๐Ÿ‘‰Logika berkata kepada Takdir: Kamu gila! Kamu menjatuhkan dirimu kepada kematian. Boleh jadi ketika kamu tidur ada mobil yang lewat dan melindas tubuhmu.

๐Ÿ‘ˆTakdir menjawab: Saya tidak akan tidur kecuali di tengah jalan ini. Sebab boleh jadi ada mobil yang datang lalu ia melihatku dan mengajakku bersamanya.

๐Ÿ‘‰Akhirnya Logika betul-betul tidur di bawah pohon dan Takdir tidur di tengah jalan.

Tidak beberapa lama setelah keduanya tertidur, lewat sebuah mobil besar dalam kecepatan tinggi.

Tatkala supir melihat ada yang tidur di tengah jalan, ia berusaha berhenti dengan mendadak, tapi sayang tidak bisa.

Akhirnya supir membanting stir dan mobil itu berbelok ke arah pohon dan langsung menabrak Logika, sehingga selamatlah si Takdir.

๐Ÿ‘ˆInilah kenyataan hidup, bahwa Takdir memainkan peranannya di tengah-tengah manusia. Kadang-kadang Takdir bertentangan dengan Logika.

๐ŸŒนMaka boleh jadi terjadinya delay/ tertundanya dalam penerbangan ada keselamatan di balik itu.


๐ŸŒนBoleh jadi tertundanya kita mendapatkan suatu hak karena ada hak orang lain yang selama ini kita abaikan dan tidak kita perdulikan.

๐ŸŒนBoleh jadi ditolaknya lamaran kerja kita ada hikmah besar di balik itu.

๐ŸŒนTertundanya pertolongan dan kemenangan juga pasti ada manfaat yang sangat besar di belakang itu.

๐ŸŒน"Boleh jadi kita membenci sesuatu padahal ia baik".

Yang dikagumi terkadang tidak mengerti.

Yang dicintai terkadang tidak merasa.

Yang dirindukan terkadang tidak tahu.

Yang dikasihi terkadang menyakitkan perasaan.

Yang di-inginkan terkadang tidak sesuai dan sejalan.

Yang tidak disangka terkadang terjadi.

Yang kaya terkadang bisa jatuh miskin.

Yang dihina terkadang bisa jadi sangat sukses.

๐Ÿ‘๐Ÿป Logika adalah salah satu alat dan cara untuk berjuang memperbaiki nasib/ keadaan ....tapi tidak boleh lupa untuk tetap mengandalkan dan memohon kepada-Nya.

๐ŸŒนDalam usaha bisnispun jangan pernah kita tinggalkan Usaha Langit krn berapa bnyak kita hanya mengandalkan usaha logika yg kemudian menyalahkan takdir. Padahal usaha Langit belum kita lakukan.

๐ŸŒน Takdir adalah suatu misteri, tapi jika kita taqwa dan mengikuti jalan-Nya, maka yakinlah bahwa
TAKDIR itu akan INDAH ๐Ÿ‘, karena hanya ALLAH SWT yang bisa mengubah semua aspek hidup kita menjadi indah pada waktu-Nya....

Rezekimu dalam jaminan Allahu

BUGHATS

Ini cerita tentang Rezeki.
Seorang ulama dari Suriah bercerita tentang do'a yang selalu ia lantunkan. Ia selalu mengucapkan do'a seperti berikut ini.

( ๏บ๏ปŸ๏ป ๏ปฌ๏ปข ๏บ๏บญ๏บฏ๏ป—๏ปจ๏บŽ ๏ป›๏ปค๏บŽ ๏บ—๏บฎ๏บฏ๏ป• ๏บ๏ปŸ๏บ’๏ป๏บŽ๏บ™ )

_"Allahummarzuqnaa kamaa tarzuqul bughats"_

_("Ya Allah, berilah aku rezeki sebagaimana Engkau memberi rezeki kpd bughats.")_

Apakah _"bughats"_ itu...?
Dan bagaimana kisahnya...?

_"Bughats"_ anak burung gagak yg baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yg disebut _"bughats"_. Ketika sdh besar dia menjadi gagak ( _ghurab_).

Apa perbedaan antara _bughats & ghurab...?_

Telah terbukti secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ia lahir tanpa bulu. Kulitnya berwarna putih.

Di saat induknya menyaksikanya,  ia tdk terima itu anaknya,  hingga ia tdk mau memberi makan dan minum, lalu hanya mengintainya dr kejauhan saja.

Anak burung kecil malang yg baru menetas dr telur itu tdk mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bgmna ia makan dan minum...?

Allah Yang Maha Pemberi Rezeki yg menanggung rezekinya, karena Dialah yg tlh menciptakannya.

Allah menciptakan AROMA tertentu yg keluar dr tubuh anak gagak yg dpt mengundang datangnya serangga ke sarangnya. Lalu berbagai macam ulat & serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak, lalu ia pun memakannya...
_Masya Allah..._

Keadaannya terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sdh tumbuh.

Ketika itu barulah gagak mengetahui itu anaknya & ia pun mau memberi makannya hingga tumbuh dewasa & bisa terbang mencari makan sendiri.
Secara otomatis aroma yg keluar dari tubuhnya pun hilang & serangga2  tdk berdatangan lagi ke sarangnya.

Dia-lah Allah, Ar Raziq, Yg Maha Penjamin Rezeki...

_"Kamilah yg menjamin penghapusan (rezeki) di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini."_ (QS. Az-Zukhruf : 32)

Rezekimu akan mendatangimu di mana pun engkau  berada, selama engkau menjaga ketakwaanmu kepada Allah, sbgmn sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam:

_"Sesungguhnya Malaikat Jibril membisikkan di dlm qalbuku bahwa seseorg tdk akan meninggal sampai sempurna seluruh rezekinya. Ketahuilah, bertaqwalah kpd Allah, dan perindahlah caramu meminta kpd Allah. Jgn sampai keterlambatan datangnya rezeki membuatmu mencarinya dgn cara bermaksiat kpd Allah. Sesungguhnya tdk akan didapatkan sesuatu yg ada di sisi Allah kecuali dgn menta'atinya."_

Jadi...
Tidaklah pantas bagi orang2 yang beriman berebut rezeki & seringkali tdk mengindahkan halal haramnya rezeki itu dan cara memperolehnya.
_______________________
Ya Allah, Engkau Pemberi & Penjamin Rezeki, karuniakanlah kpd kami rezeki yg halal & barakah...

Sugeng  Enjing
Selamat bekerja di hari yg penuh barakah ini,.

Salam satu jiwa..MERDEKA..!!!!

Sabtu, 16 Juli 2016

UCAPAN SAYYIDINA MERUPAKAN ADAB DAN ETIKA, KETIKA MENYEBUT NAMA NABI SAW

SAHABAT ASWAJA:
UCAPAN SAYYIDINA MERUPAKAN ADAB DAN ETIKA, KETIKA MENYEBUT NAMA NABI ๏ทบ

Kata sayyid atau sayyidina yang disematkan di belakang nama Nabi kita Sayyidina Muhammad ๏ทบ, bukanlah sebutan yang tanpa berdasar dan hal ini adalah suatu penyematan yang baik dan merupakan adab dan etika serta penghormatan dan pengagungan terhadap nama nabi kita Sayyidina Muhammad ๏ทบ .

ู„َุง ุชَุฌْุนَู„ُูˆْุง ุฏُุนَุขุกَ ุงู„ุฑَّุณُูˆْู„ِ ุจَูŠْู†َูƒُู…ْ ูƒَุฏُุนَุขุกِ ุจَุนْุถِูƒُู…ْ ุจَุนْุถًุง

Janganlah kamu jadikan panggilan rasul (nabi Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).
[QS. An-Nur: Ayat 63]

Berikut adalah bukti-bukti dan hujjah-hujjah yang menjelaskan bahwa nabi Muhammad ๏ทบ adalah Sayyid atau penghulu, yang disebutkan dibeberapa tafsir ayat Al-Qur'an dalam kitab tafsir Ibnu Katsir.

✅ Tafsir Surat Fushshilat ayat: 47 disebutkan :

ูˆู‡ูˆ ุณูŠุฏ ุงู„ุจุดุฑ ู„ุฌุจุฑูŠู„ ูˆู‡ูˆ ู…ู† ุณุงุฏุงุช ุงู„ู…ู„ุงุฆูƒุฉ -

"Nabi Muhammad ๏ทบ Beliau adalah sayyid/penghulu manusia, malaikat Jibril merupakan Sayyid/penghulu para malaikat"

✅ Tafsir Surat Al Imran ayat: 98 disebutkan:

ูˆู…ุง ุจุดุฑูˆุง ุจู‡ ูˆู†ูˆู‡ูˆุง ، ู…ู† ุฐูƒุฑ ุงู„ู†ุจูŠ [ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ] ุงู„ุฃู…ูŠ ุงู„ู‡ุงุดู…ูŠ ุงู„ุนุฑุจูŠ ุงู„ู…ูƒูŠ ، ุณูŠุฏ ูˆู„ุฏ ุขุฏู… ، ูˆุฎุงุชู… ุงู„ุฃู†ุจูŠุงุก ، ูˆุฑุณูˆู„ ุฑุจ ุงู„ุฃุฑุถ ูˆุงู„ุณู…ุงุก
Mereka semuanya mendapat berita gembira akan adanya seorang nabi yang ummi dari  Bani Hasyim, dari Bangsa Arab dari Mekah, Sayyid/penghulu semua manusia, penutup para nabi dan rasul .

✅ Tafsir, Surat Saba, ayat: 23 disebutkan:

 ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… - ูˆู‡ูˆ ุณูŠุฏ ูˆู„ุฏ ุขุฏู… ، ูˆุฃูƒุจุฑ ุดููŠุน ุนู†ุฏ ุงู„ู„ู‡.

Rasulullah ๏ทบ Sayyid/penghulu anak Adam dan pemberi syafaat yang terbesar disisi Allah ๏ทป .

✅ Tafsir Surat Ad-Dukhan, ayat 33 disebutkan:

ูˆู‡ูˆ ุณูŠุฏ ุงู„ุจุดุฑ ููŠ ุงู„ุฏู†ูŠุง ูˆุงู„ุขุฎุฑุฉ

Rasulullah ๏ทบ Sayyid/penghulu manusia di dunia dan akhirat

✅ Tafsir Surat Al-A'raf, ayat: 144 disebutkan:

ูˆู„ุง ุดูƒ ุฃู† ู…ุญู…ุฏุง ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุณูŠุฏ ูˆู„ุฏ ุขุฏู… ู…ู† ุงู„ุฃูˆู„ูŠู† ูˆุงู„ุขุฎุฑูŠู†

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad ๏ทบ adalah Sayyid/penghulu semua anak Adam dari yang pertama sampai yang terakhir

✅ Tafsir surat Al Fajr, ayat: 22 disebutkan:

ูˆุฐู„ูƒ ุจุนุฏ ู…ุง ูŠุณุชุดูุนูˆู† ุฅู„ูŠู‡ ุจุณูŠุฏ ูˆู„ุฏ ุขุฏู… ุนู„ู‰ ุงู„ุฅุทู„ุงู‚ ู…ุญู…ุฏ - ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… -

Yang demikian terjadi setelah mereka memohon syafaat kepada Allah ๏ทป melalui Sayyid/penghulu anak Adam secara mutlak, yaitu Nabi Muhammad ๏ทบ

✅ Tafsir Surat Al-An'am, ayat: 161 disebutkan:

ูŠู‚ูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุขู…ุฑุง ู†ุจูŠู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุณูŠุฏ ุงู„ู…ุฑุณู„ูŠู†

Allah ๏ทป berfirman, memerintahkan kepada Nabi-Nya "Sayyid/penghulu para rasul"


✅ Tafsir Surat Al-Isra, ayat: 78 disebutkan:

ุซู… ู‚ุงู„ : " ุฃู†ุง ุณูŠุฏ ุงู„ู†ุงุณ ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ، ูˆู‡ู„ ุชุฏุฑูˆู† ู…ู… ุฐุงูƒ ؟

Nabi ๏ทบ bersabda, "Aku adalah penghulu umat manusia pada hari kiamat."

✅ Tafsir Surat Al-Fath, ayat: 2 disebutkan:

ูˆู‡ูˆ ุฃูƒู…ู„ ุงู„ุจุดุฑ ุนู„ู‰ ุงู„ุฅุทู„ุงู‚ ، ูˆุณูŠุฏู‡ู… ููŠ ุงู„ุฏู†ูŠุง ูˆุงู„ุขุฎุฑุฉ .
Beliau ๏ทบ adalah manusia yang paling sempurna secara mutlak dan Sayyid/penghulu mereka di dunia dan akhirat.

Demikian sedikit yang bisa dikutib dan hanya dikutib dari satu kitab saja, dan sudah tentu jika kita berbicara tentang adab dan etika untuk menyebut nama nabi kita Sayyidina Muhammad ๏ทบ akan sangat luas serta panjang lebar, dan juga banyak  terdapat dari berbagai sumber rujukan, namun semoga yang sedikit ini insyaallah bermanfaat.

ูˆุฑุจู†ุง ุงู„ุฑุญู…ู† ุงู„ู…ุณุชุนุงู† ...

๐Ÿ“Œ Abu Muhammad Al-Maduri ุญูุธู‡ ุงู„ู„ู‡

๐Ÿ‘‡๐ŸผIkuti dan Share Channel Telegram  SAHABAT ASWAJA
   
♻️ http://bit.ly/sahabataswaja

Rabu, 13 Juli 2016

Bagaimana cara saya tahu berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah?

๐Ÿ“ *ูƒูŠู ุงุนุฑู ุฃู†ูŠ ุนู„ู‰ ุนู‚ูŠุฏุฉ ุงู‡ู„ ุงู„ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุฌู…ุงุนุฉ؟!*

*ูƒูŠู€ู€ู ุชู†ุฌู€ู€ูˆ ู…ู€ู€ู† 72)*
*ูุฑู‚ู€ู€ุฉ ู‡ุงู„ูƒุฉ ูƒู…ุง ููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ูˆุชูƒู€ู€ูˆู† ุถู…ู† ุงู„ูุฑู‚ู€ุฉ ุงู„ู†ุงุฌูŠู€ู€ุฉ*
*( ุงู„ุทุงุฆูุฉ ุงู„ู…ู†ุตูˆุฑุฉ ุงู„ู‰ ู‚ูŠุงู… ุงู„ุณุงุนุฉ)*

๐Ÿ“ . *ู‚ู€ู€ู€ุงู„ ุง๏ปนู…ุงู… ุนุจุฏุงู„ู„ู‡ ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ :*

*ุฃุตู„ ุงุซู†ุชูŠู† ูˆุณุจุนูŠู† ู‡ู… ุฃุฑุจุนุฉ ุฃู‡ูˆุงุก ، ูู…ู† ู‡ุฐู‡ ุง๏ปทุฑุจุนุฉ ุงู„ุฃู‡ูˆุงุก ุชุดุนุจุช ุงู„ุงุซู†ุงู† ูˆุณุจุนูˆู† ู‡ู€ู€ูˆู‰:*
1⃣ ุงู„ู‚ุฏุฑูŠู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ู€ุฉ
2⃣ ูˆุงู„ู…ุฑุฌุฆู€ู€ู€ู€ู€ุฉ
3⃣ ูˆุงู„ุดูŠุนู€ู€ู€ู€ู€ุฉ
4⃣ ูˆุงู„ุฎู€ู€ู€ู€ู€ูˆุงุฑุฌ

✅  *ูู…ู€ู† ู‚ู€ู€ุฏู… ุฃุจุง ุจูƒุฑ ูˆุนู…ุฑ ูˆุนุซู…ุงู† ูˆุนู„ูŠุง ุนู„ู‰ ุฃุตุญุงุจ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ، ูˆู„ู… ูŠุชูƒู„ู… ููŠ ุงู„ุจุงู‚ูŠู† ุฅู„ุง ุจุฎูŠุฑ ูˆุฏุนุง ู„ู‡ู… ูู‚ุฏ ุฎุฑุฌ ู…ู† ุงู„ุชุดูŠุน ุฃูˆู„ู‡ ูˆุขุฎุฑู‡.*

✅   *ูˆู…ู€ู€ู† ู‚ู€ู€ุงู„ : ุง๏ปนูŠู…ุงู† ู‚ูˆู„ ูˆุนู…ู„ ، ูŠุฒูŠุฏ ูˆูŠู†ู‚ุต ูู‚ุฏ ุฎุฑุฌ ู…ู† ุง๏ปนุฑุฌุงุก ุฃูˆู„ู€ู€ู‡ ูˆุขุฎู€ุฑู‡.*

✅  *ูˆู…ู€ู€ู† ู‚ู€ู€ุงู„ : ุงู„ุตู„ุงุฉ ุฎู„ู ูƒู„ ุจุฑ ูˆูุงุฌุฑ ูˆุงู„ุฌู‡ุงุฏ ู…ุน ูƒู„ ุฎู„ูŠูุฉ ูˆู„ู… ูŠุฑ ุงู„ุฎุฑูˆุฌ ุนู„ู‰ ุงู„ุณู„ุทุงู† ุจุงู„ุณูŠู ูˆุฏุนุง ู„ู‡ู… ุจุงู„ุตู„ุงุญ ูู‚ุฏ ุฎุฑุฌ ู…ู† ู‚ูˆู„ ุงู„ุฎูˆุงุฑุฌ ุฃูˆู„ู€ู€ู‡ ูˆุขุฎู€ู€ุฑู‡.*

✅  *ูˆู…ู€ู€ู† ู‚ู€ู€ุงู„ : ุงู„ู…ู‚ุงุฏูŠุฑ ูƒู„ู‡ุง ู…ู† ุงู„ู„ู‡ ุนุฒ ูˆุฌู„ ุฎูŠุฑู‡ุง ูˆุดุฑู‡ุง ูŠุถู„ ู…ู† ูŠุดุงุก ูˆูŠู‡ุฏูŠ ู…ู† ูŠุดุงุก ูู‚ุฏ ุฎุฑุฌ ู…ู† ู‚ูˆู„ ุงู„ู‚ุฏุฑูŠุฉ ุฃูˆู„ู€ู€ู‡ ูˆุขุฎู€ู€ุฑู‡.*
(ูˆู‡ู€ู€ูˆ ุตุงุญู€ู€ุจ ุงู„ุณู†ู€ู€ุฉ)
[ุดู€ู€ุฑุญ ุงู„ุณู†ู€ู€ุฉ ู„ู„ุจุฑุจู‡ุงุฑูŠ]

*ูˆู‚ูŠู„ ู„ุณู‡ู„ ุจู† ุนุจุฏุงู„ู„ู‡ ุฑุญู…ุฉ ุงู„ู„ู‡  :
*" ู…ุชู‰ ูŠุนู„ู… ุงู„ุฑุฌู„ ุฃู†ู‡ ุนู„ู‰ ุงู„ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุฌู…ุงุนุฉ؟ "*
ู‚ุงู„:
ุฅุฐุง ุนุฑู ู…ู† ู†ูุณู‡ ุนุดุฑ ุฎุตุงู„:
- ู„ุง ูŠุชุฑูƒ ุงู„ุฌู…ุงุนุฉ.
- ู„ุง ูŠุณุจ ุฃุตุญุงุจ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู….
- ู„ุง ูŠุฎุฑุฌ ุนู„ู‰ ู‡ุฐู‡ ุงู„ุฃู…ุฉ ุจุณูŠู.
- ู„ุง ูŠูƒุฐุจ ุจุงู„ู‚ุฏุฑ.
- ู„ุง ูŠุดูƒ ููŠ ุงู„ุฅูŠู…ุงู†.
- ู„ุง ูŠู…ุงุฑูŠ ููŠ ุงู„ุฏูŠู†.
- ู„ุง ูŠุชุฑูƒ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุนู„ู‰ ู…ู† ูŠู…ูˆุช ู…ู† ุฃู‡ู„ ุงู„ู‚ุจู„ุฉ ุจุงู„ุฐู†ุจ.
- ู„ุง ูŠุชุฑูƒ ุงู„ู…ุณุญ ุนู„ู‰ ุงู„ุฎููŠู†.
- ู„ุง ูŠุชุฑูƒ ุงู„ุฌู…ุงุนุฉ ุฎู„ู ูƒู„ّ ูˆุงู„ٍ ุฌุงุฑ ุฃูˆ ุนุฏู„.

*ุดุฑุญ ุฃุตูˆู„ ุงุนุชู‚ุงุฏ ุฃู‡ู„ ุงู„ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุฌู…ุงุนุฉ ู„ู„ุงู„ูƒุงุฆูŠ (ูกูจูฃ)*

ุฃุจุดุฑ ุฃูŠู‡ุง ุงู„ุณู†ูŠ ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ

*ูŠู‚ูˆู„ ุงู„ูุถูŠู„ ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡:*
*"ุทูˆุจู‰ ู„ู…ู† ู…ุงุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ูˆุงู„ุณู†ุฉ ูุฅุฐุง ูƒุงู† ูƒุฐู„ูƒ ูู„ูŠูƒุซุฑ ู…ู† ู‚ูˆู„ ู…ุงุดุงุก ุงู„ู„ู‡"*
*(ุฃุตูˆู„ ุงู„ุงุนุชู‚ุงุฏ ู„ู„ุงู„ูƒุงุฆูŠ)*

*ูˆู‚ุงู„ ุงู„ู…ุฑูˆุฒูŠ:ู‚ู„ุช ู„ุฃุจูŠ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุงู„ุฅู…ุงู… ุฃุญู…ุฏ ؛ู…ู† ู…ุงุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ูˆุงู„ุณู†ุฉ ู…ุงุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฎูŠุฑ، ู‚ุงู„ ุงุณูƒุช:ุจู„ ู…ุงุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฎูŠุฑ ูƒู„ู‡"*
(ุงู„ุณูŠุฑ296/11)

*ูˆู‚ุงู„ ุนูˆู† ุจู† ุณู„ุงู… ุฃุจูˆุฌุนูุฑุงู„ูƒูˆููŠ :"ู…ู† ู…ุงุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ูˆุงู„ุณู†ุฉ ูู„ู‡ ุจุดูŠุฑ ุจูƒู„ ุฎูŠุฑ"*
(ุฃุตูˆู„ ุงู„ุงุนุชู‚ุงุฏ ู„ู„ุงู„ูƒุงุฆูŠ)

*ูˆู‚ูŠู„ ู„ู„ุฅู…ุงู… ุฃุญู…ุฏ ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡  :ุฃุญูŠุงูƒ ุงู„ู„ู‡ ูŠุงุฃุจุงุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ู‰ ุงู„ุงุณู„ุงู…، ู‚ุงู„:ูˆุงู„ุณู†ุฉ"*
(ุงุจู† ุงู„ุฌูˆุฒูŠ ููŠ ุงู„ู…ู†ุงู‚ุจ 177)

*ูˆู‚ุงู„ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนู…ุฑ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ู…ุง :*
*"ู…ุงูุฑุญุช ุจุดูŠุก ู…ู† ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุฃุดุฏ ูุฑุญุง ุจุฃู† ู‚ู„ุจูŠ ู„ู… ูŠุฏุฎู„ู‡ ุดูŠุก ู…ู† ู‡ุฐู‡ ุงู„ุฃู‡ูˆุงุก"*

(ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฅุนุชู‚ุงุฏ ู„ู„ุงู„ูƒุงุฆูŠ 130/1)
ู‡ุฐุง ูˆุงู„ู„ู‡ ูˆู„ูŠ ุงู„ุชูˆููŠู‚

๐Ÿ“•๐Ÿ“—๐Ÿ“—๐Ÿ“˜๐Ÿ“™๐Ÿ“”

Bagaimana cara saya tahu berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Bagaimana cara anda menyelamatkan diri dari 72 golongan, dan masuk barisan Firqah Najiyah (golongan yang selamat) [Thaifah Manshurah hingga hari kiamat]

Imam Abdullah bin al Mubarak rahimahullah berkata,
"Induk dari 72 golongan itu berasal dari 4 ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu). Dari 4 itu terpecah menjadi 72 golongan;
1. Qadariyah
2. Murjiah
3. Syiah
4. Khawarij

# Siapa lebih mengedepankan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di atas para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, kemudian menyebut sisa shahabat yang lain dengan baik, serta mendoakan mereka, maka ia telah keluar dari pemikiran Syiah, awal dan akhirnya.

# Siapa mengatakan; iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka ia telah keluar dari pemikiran Murjiah, awal dan akhirnya.

# Siapa mengatakan bolehnya shalat di belakang pemimpin adil dan fajir, berjihad bersama setiap khalifah, tidak berpendapat bolehnya memberontak pemerintah dengan pedang, serta mendoakan kebaikan untuk mereka, maka ia telah keluar dari pemikiran khawarij, awal dan akhirnya.

# Siapa mengatakan; seluruh takdir baik dan buruk semuanya berasal dari Allah, Allah menyesatkan dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki, dia telah keluar dari pemikiran Qadariyah, awal dan akhirnya.

Ketika itulah dia penyandang as Sunnah
(Syarh as Sunnah, al Barbahari)

Ditanyakan kepada Sahl bin Abdullah, "Kapan seseorang memgetahui berada di atas as Sunnah dan al Jamaah?"
Beliau menjawab,
"Apabila dia mengetahui 10 tabiat dalam dirinya;
1. Tidak meninggalkan al Jamaah
2. Tidak mencela para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam
3. Tidak memerangi umat ini dengan pedang
4. Tidak mendustakan takdir
5. Tidak meragukan iman
6. Tidak berbantah-bantahan dalam masalah agama
7. Mau menshalatkan jenazah ahlul kiblat (muslim) yang memiliki dosa
8. Mau memgusap 2 khuf
9. Mau shalat jamaah di belakang waliyyul amr yang adil dan yang fajir

(Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, al Laalika-i, no. 183)

Berbahagialah wahai Ahlus Sunnah yang diberkahi!

Al Fudhail rahimahullah berkata, "Beruntunglah siapa yang mati di atas Islam dan sunnah. Apabila sudah demikian, perbanyaklah mengucapkan 'masya Allah'."
(Ushul al I'tiqad, al Laalika-i)

Al Marwazi berkata, "Aku bertanya kepada Abu Abdillah Imam Ahmad, 'Siapa mati di atas Islam dan Sunnah mati di atas kebaikan?" Beliau menjawab, "Diam, bahkan mati di atas seluruh kebaikan."
(As Siyar, 11/296)

Aun bin Salam Abu Ja'far al Kufi berkata,
"Siapa meninggal di atas Islam dan Sunnah, maka baginya kabar gembira setiap kebaikan."
(Ushul al I'tiqad, al Laalika-i)

Dikatakan kepada Imam Ahmad, "Wahai Abu Abdillah, semoga Allah menghidupkanmu di atas Islam." Beliau berkata, "Dan di atas Sunnah."
(Ibnul Jauzi dalam al Manaqib, hal. 177)

Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata,
"Tidaklah aku bahagia dengan sesuatu dari Islam melebihi bahagianya aku karena hatiku tidak terjangkit berbagai hawa nafsu ini."
(Ushul al I'tiqad, al Laalika-i, 1/130)

Wallallahu waliyyut taufiq.

TINGKATAN DALAM MAZHAB SYAFIIE MENJADI MUJTAHID MUTLAQ

TINGKATAN DALAM MAZDHAB SYAFII MENJADI MUJTAHID MUTLAQ 

Tingkatan Mufti Dalam Mazhab Asy Syafie

Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam
berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat,  Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab?
Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab?
Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:

1. Mufti Mustaqil

Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang
tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di
bawahnya adalah kemampuannya
menciptakan metode yang dianut
madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab

Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap
menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana
disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal.
7) Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari
masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72) Di kalangan
muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan
Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7) Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana
disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri
berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72). Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang
berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan
pendapat imam. Kenapa harus mereka?
Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau
ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i
dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun.
(lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al
Hadits fa Huwa Madzhabi) Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya
sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai
kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i
seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari
sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat,Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul
Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid
menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73) Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat
imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun
bertaklid kepada imam. (lihat, AlMajmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
4. Mujtahid Fatwa

Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab
imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi
Syarh Al Muhadzdzab, 1/73) Perlu diketahui, dengan adanya mufti- mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk
mentarjih. Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar
Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7) Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti
Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid

Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di
atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang- cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74) Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian
berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7
dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fiSyarh Al Muhadzdzab, 1/73). Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al mustarsyidin, hal. 9) Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di
atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus
menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di
atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar!
(lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab,
1/74) Tentu, amat tidak mudah untuk
masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu
Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli
masih dinilai berada dalam tingkatan
itu! Namun ironisnya banyak anak-
anak muda yang baru mencari ilmu
dengan tanpa beban menyesat- nyesatkan siapa saja yang bertaklid.
Kemudian menyerukan untuk
mentarjih pendapat sesuai
berdasarkan dalil yang ia pahami
seakan-akan ia setingkat dengan
Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid
mustaqil dengan berargumen, idza
shahah al hadits fahuwa madzhabi,
seakan-akan ia satu level dengan
Imam Al Muzani! Padahal yang
bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling
sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari
hal-hal yang demikian. Dan tetap
bersabar untuk terus mencari ilmu,
hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang
mampu kita serap dan kita amalkan.
SAHABAT ASWAJA:
KAUM RADIKAL MEMAHAMI HADITS-HADITS NABI SECARA RADIKAL

Salah satu hadits nabi yang difahami secara radikal oleh kaum radikal adalah hadits tentang bid'ah, yaitu hadits:
" kullu bid'atin dolalah wakullu dolalatin finnar"

Para Imam dan para Ulama Ahli ilmu memahami hadits tersebut dengan ilmu bukan dengan nafsu dan bukan dengan cara radikal, diantaranya :

Imam Syafi'i menjelaskan bahwa bid'ah itu terbagi menjadi dua , yaitu :
1. Bid'ah terpuji / ู…ุญู…ูˆุฏุฉ
2. Bid'ah tercela / ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ

Imam Ibnu katsir juga menjelaskan bahwa bid'ah itu terbagi menjadi dua yaitu:
1. Bid'ah ุดุฑุนูŠุฉ (syar'i)
2. Bid'ah ู„ุบูˆูŠุฉ (bahasa)

Imam Adz-dzahabi juga menjelaskan bahwah bid'ah itu terbagi menjadi dua yaitu :
1. Bid'ah ุตุบุฑู‰ (kecil)
2. Bid'ah ูƒุจุฑู‰ (besar)

Dan masih banyak yang lainya, termasuk juga penjelasan para ulama tentang pembagian hukum-hukumnya .

Jika pemahaman radikal diterapkan untuk memaknai hadits tersebut, maka yang terjadi adalah mudahnya mem-vonis bahwa selain dari golongan-nya dianggap Ahlu bid'ah dan masuk neraka, dan ironisnya diantara sesama golongan mereka sendiri sudah mulai saling tuding bid'ah dan saling vonis sesat dan saling ingin memasukkan kedalam neraka satu sama lain.

Salah satu contoh dan bukti serta hujjah bahwa begitu sangat berbahaya jika memahami hadits secara radikal, yaitu;

Di dalam mushannaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan bahwa: "Abdullah bin Umar ketika ditanya tentang adzan pertama shalat jum'at beliau mengatakan bahwah hal itu adalah bid'ah."

Apa yang dikatakan sayyidina Ibnu Umar ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ diatas jika mengikuti tradisi pemahaman Wahabi, akan didapati kesimpulan bahwa amirul mukminin sayyidina Utsman bin Afwan ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡, yang pertama kali mencetuskan adzan pertama dalam shalat jum'at, sebagai ahlul bid'ah dan akan masuk neraka, dan sungguh pemahaman seperti ini merupakan suatu pemahaman yang salah dan radikal serta jauh dari kebenaran.

Semoga kita dijauhkan dari pemahaman radikal, terutama dalam memahami hadits hadits nabi

ูˆุฑุจู†ุง ุงู„ุฑุญู…ู† ุงู„ู…ุณุชุนุงู† ...

๐Ÿ“Œ Abu Muhammad Al-Maduri ุญูุธู‡ ุงู„ู„ู‡

๐Ÿ‘‡๐ŸผIkuti dan Share Channel Telegram  SAHABAT ASWAJA
   
♻️ http://bit.ly/sahabataswaja
OSM (Odoj Spirit Message)

๐Ÿ’”Jika HATI Rusak


Suatu hari,
saya mengunjungi tempat service HP,
karena ingin memperbaiki HP yang sedang bermasalah.

Setelah HP tersebut di otak-atik selama 30 menit, tukang service-nya berkata,
"Mas, HP-nya rusak parah karena sudah terlalu lama terkena virus.
Saran saya, BELI HP BARU saja ya sebab jikalau diperbaiki justru akan mengeluarkan biaya yg cukup mahal."

Perkataannya itu membuat saya merenung,
"Jika HP saya yang rusak ini masih mungkin untuk diperbaiki, bahkan dapat membeli lagi yang baru jika rusaknya terlalu parah, lalu bagaimana dengan HATI kita yang rusak?
Dimana dan dengan cara apa kita dapat memperbaikinya?
Atau bahkan adakah yang menjual HATI pengganti jika ternyata yang dimiliki oleh kita telah rusak parah?"

Astaghfirullah ...
Akhirnya, saya tersadar
bahwa tidak ada tukang service HATI di dunia ini,
tidak ada pula penjual HATI cadangan/pengganti tatkala mengalami kerusakan.

Padahal ...
jika HATI ini telah rusak,
maka akan sangat membahayakan untuk diri sendiri  dan orang lain di lingkungan sekitar kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฃَู„ุงَ ูˆَุฅِู†َّ ูِู‰ ุงู„ْุฌَุณَุฏِ ู…ُุถْุบَุฉً ุฅِุฐَุง ุตَู„َุญَุชْ ุตَู„َุญَ ุงู„ْุฌَุณَุฏُ ูƒُู„ُّู‡ُ ، ูˆَุฅِุฐَุง ูَุณَุฏَุชْ ูَุณَุฏَ ุงู„ْุฌَุณَุฏُ ูƒُู„ُّู‡ُ . ุฃَู„ุงَ ูˆَู‡ِู‰َ ุงู„ْู‚َู„ْุจُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah HATI."
(HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)

Sahabatku ...
Service-lah HATI kita sebaik mungkin agar senantiasa menjadi terjaga buahnya!

Ketika Ramadlan tiba,
kita menjadikannya sebagai momen yang sangat tepat untuk memperbaiki hati.
Ketika Ramadlan berlalu, semoga kita tetap dapat membawa semangatnya sebagai momentum perbaikan diri secara kontinu.

Semoga Tilawah kita akan mampu melembutkan hati yang sudah semakin mengeras,
sehingga kita bisa memperoleh hidayah dan meraih predikat takwa.
Aamiin Allahumma Aamiin ...

Salam FULL Semangat...!!!

Akso Diana
Divisi Training Motivasi
Cp. 0813 2435 0820

PSDM/TM/133/12/07/2016

Selasa, 12 Juli 2016

๐Ÿ“œ Tau tapi tak mau mengamalkan...


*Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengisahkan* :
“Seorang anak perempuan meninggal karena Tho’un, kemudian ayahnya melihatnya di dalam mimpi, maka ayahnya berkata kepadanya : “Wahai anakku kabarkan kepadaku tentang akhirat!”
Anak perempuan itu menjawab :

_“Kami telah melewati perkara yang sangat besar, dan sesungguhnya kita telah mengetahui, tapi kita tidak mengamalkannya. Demi Allah, sesungguhnya satu ucapan tasbih atau satu raka’at sholat yang tertulis dalam lembaran amalku lebih aku sukai daripada dunia dan seluruh isinya”.._

*Berkata Ibnul Qayyim* :

_“Anak perempuan itu telah mengatakan perkataan yang dalam maknanya (sesungguhnya kami mengetahui, tapi kita tidak mengamalkan), *akan tetapi banyak diantara kita yang tidak memahami maknanya..”*_

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa ucapan *“Subhaanallaahi wa bihamdihi”* sebanyak 100 kali dalam sehari akan menghapuskan dosa-dosa kita, walaupun dosa kita sebanyak buih di lautan. Akan tetapi sayang, Berapa banyak hari kita yang berlalu tanpa kita mengucapkannya sedikitpun.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa pahala *dua raka’at Dhuha* setara dengan pahala 360 shodaqah, akan tetapi sayang, Hari berganti hari tanpa kita melakukan sholat Dhuha.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa orang yang *berpuasa sunnah* karena Allah satu hari saja, akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 musim atau 70 tahun perjalanan. Tapi sayang, kita tidak mau menahan lapar.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa siapa yang *menjenguk orang sakit* akan diikuti oleh 70 ribu malaikat yang memintakan ampun untuknya. Tapi sayang, kita belum juga menjenguk satu orang sakit pun pekan ini.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa siapa yang *membantu membangun masjid* karena Allah walaupun hanya sebesar sarang burung, akan dibangunkan sebuah rumah di surga. Tapi sayang, kita tidak tergerak untuk membantu pembangunan masjid
walaupun hanya dengan beberapa puluh ribu.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa siapa yang *MEMBANTU janda dan anak yatimnya,* pahalanya seperti BERJIHAD di jalan Allah, atau seperti orang yang berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka, atau orang yang sholat sepanjang malam tanpa tidur. Tapi sayang, sampai saat ini kita tidak berniat membantu seorang pun janda dan anak yatim.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa orang yang *membaca satu huruf dari Al Qur’an*, baginya sepuluh kebaikan dan satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kali. Tapi sayang, kita tidak pernah meluangkan waktu membaca Al-Qur’an dalam jadwal harian kita.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa *haji yang mabrur,* tidak ada pahala baginya kecuali surga, dan akan diampuni dosa-dosanya sehingga kembali suci seperti saat dilahirkan oleh ibunya. Tapi sayang, kita tidak bersemangat untuk melaksanakannya,
padahal kita mampu melaksanakannya.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa orang mukmin yang paling mulia adalah yang yang paling banyak *sholat malam*, dan bahwasanya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam dan para shahabatnya tidak pernah meremehkan sholat malam di tengah segala kesibukan dan jihad mereka. Tapi sayang kita terlalu meremehkan sholat malam.

๐Ÿƒ Kita mengetahui, bahwa *hari kiamat pasti terjadi,* tanpa ada keraguan, dan pada hari itu Allah akan membangkitkan semua yang ada di dalam kubur. Tetapi sayang, kita *tidak pernah mempersiapkan diri untuk hari itu.*

๐Ÿƒ Kita sering menyaksikan orang-orang yang meninggal
mendahului kita. tetapi sayang, kita selalu *larut dengan senda gurau dan permainan dunia* seakan kita mendapat jaminan
hidup selamanya dan tidak akan akan menyusul mereka.

๐Ÿ“ฃ Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah...
Semoga kita segera
mengubah keadaan kita mulai detik ini, dan mempersiapkan
datangnya hari perhitungan yang pasti akan kita hadapi..
Hari dimana kita mempertanggung jawabkan setiap perbuatan kita di dunia..

๐ŸŒ‹ Hari ketika lisan kita dikunci, sedangkan mata, kaki, dan
tangan kita yang menjadi saksi..
Dan pada hari itu, *setiap orang akan lari* dari saudaranya, ibu dan bapaknya, teman-teman dan anaknya, karena pada hari itu setiap orang akan *disibukkan dengan urusannya masing2*.

Wallahu'alam

kumpulan artikel pilihan khazanah keilmuan islamiyah

Pengertian Dari Kalimat, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”
-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i-

Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ...

Bismillaah Wal Hamdulillaah ...
Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ...
Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ...

Perkataan Imam mazhab yang empat yang sering disalah pahami adalah seperti perkataan dari al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah:

ุฅِู†ْ ุตَุญَّ ุงู„ْุญَุฏِูŠْุซُ ูَู‡ُูˆَ ู…َุฐْู‡َุจِูŠْ

“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”

Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafi'i, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama.

Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'i maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafi'i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits.

Perkataan  al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah tersebut adalah contoh sikap tawadhu atau rendah hati.  Beliau hanya ingin mengingatkan kita bahwa mengikuti pendapat mereka tetap merujuk kepada dari mana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah.

Al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah menghafal dan mendapatkan hadits langsung dari  para Salafush Sholeh. Beliau melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.

Hadits-hadits yang  dihafal dan diketahui oleh beliau LEBIH BANYAK dari hadits yang telah dibukukan. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tetap bertalaqqi (mengaji ) dengan ulama-ulama bermazhab.

Jadi aneh kalau ada ulama yang berpendapat bahwa  dia telah menemukan sebuah hadits shahih pada suatu kitab sehingga tidak perlu mengikuti pendapat  Imam Mazhab yang empat. Haditsnya shahih, namun pemahaman mereka terhadap hadits tersebut yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.

Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, sedangkan Al-Syafi’i TIDAK TAHU terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita HARUS MENGIKUTI hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut TELAH DIKETAHUI oleh Al-Imam Al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1 / 64.

Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab Al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab Al-Syafi’i, berdasarkan pesan Al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh Al-Imam Al-Syafi’i.

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253).

Untuk lebih memahaminya, ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafi'i tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

ูˆู‡ุฐุง ุงู„ุฐู‰ ู‚ุงู„ู‡ ุงู„ุดุงูุนูŠ ู„ูŠุณ ู…ุนู†ุงู‡ ุงู† ูƒู„ ุฃุญุฏ ุฑุฃู‰ ุญุฏูŠุซุง ุตุญูŠุญุง ู‚ุงู„ ู‡ุฐุง ู…ุฐู‡ุจ ุงู„ุดุงูุนูŠ ูˆุนู…ู„ ุจุธุงู‡ุฑู‡: ูˆุงู†ู…ุง ู‡ุฐุง ููŠู…ู† ู„ู‡ ุฑุชุจุฉ ุงู„ุงุฌุชู‡ุงุฏ ููŠ ุงู„ู…ุฐู‡ุจ ุนู„ู‰ ู…ุง ุชู‚ุฏู… ู…ู† ุตูุชู‡ ุฃูˆ ู‚ุฑูŠุจ ู…ู†ู‡: ูˆุดุฑุทู‡ ุฃู† ูŠุบู„ุจ ุนู„ู‰ ุธู†ู‡ ุฃู† ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ ู„ู… ูŠู‚ู ุนู„ู‰ ู‡ุฐุง ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฃูˆ ู„ู… ูŠุนู„ู… ุตุญุชู‡: ูˆู‡ุฐุง ุงู†ู…ุง ูŠูƒูˆู† ุจุนุฏ ู…ุทุงู„ุนุฉ ูƒุชุจ ุงู„ุดุงูุนูŠ ูƒู„ู‡ุง ูˆู†ุญูˆู‡ุง ู…ู† ูƒุชุจ ุฃุตุญุงุจู‡ ุงู„ุขุฎุฐูŠู† ุนู†ู‡ ูˆู…ุง ุฃุดุจู‡ู‡ุง ูˆู‡ุฐุง ุดุฑุท ุตุนุจ ู‚ู„ ู…ู† ูŠู†ุตู ุจู‡ ูˆุงู†ู…ุง ุงุดุชุฑุทูˆุง ู…ุง ุฐูƒุฑู†ุง ู„ุงู† ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ ุชุฑูƒ ุงู„ุนู…ู„ ุจุธุงู‡ุฑ ุฃุญุงุฏูŠุซ ูƒุซูŠุฑุฉ ุฑุขู‡ุง ูˆุนู„ู…ู‡ุง ู„ูƒู† ู‚ุงู… ุงู„ุฏู„ูŠู„ ุนู†ุฏู‡ ุนู„ู‰ ุทุนู† ููŠู‡ุง ุฃูˆ ู†ุณุฎู‡ุง ุฃูˆ ุชุฎุตูŠุตู‡ุง ุฃูˆ ุชุฃูˆูŠู„ู‡ุง ุฃูˆ ู†ุญูˆ ุฐู„ูƒ
“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafi'i dan langsung mengamalkan dhahir hadits. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi'i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafi'i TIDAK MENGETAHUI HADIST TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi'i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafi'i tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan.

Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi'i ini dengan kata beliau

ูˆู„ูŠุณ ู‡ุฐุง ุจุงู„ู‡ูŠู† ูู„ูŠุณ ูƒู„ ูู‚ูŠู‡ ูŠุณูˆุบ ู„ู‡ ุฃู† ูŠุณุชู‚ู„ ุจุงู„ุนู…ู„ ุจู…ุง ูŠุฑุงู‡ ุญุฌุฉ ู…ู† ุงู„ุญุฏูŠุซ
“Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah)

Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafi'i tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi'i tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafi'i meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafi'i dan shahabat beliau.

IMAM NAWAWI YANG HIDUP DI ABAD KE-6 HIJRIAH MENGAKUI SULITNYA MENDAPATI ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT INI, JADI BAGAIMANA DENGAN KITA YANG HIDUP JAUH DARI ZAMAN IMAM NAWAWI ?
-----------------------------------------------------
Tentang wawasan Imam Syafi'i dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :

ู…ุง ุฃุญุฏ ูŠุนู„ู… ููŠ ุงู„ูู‚ู‡ ูƒุงู† ุฃุญุฑู‰ ุฃู† ูŠุตูŠุจ ุงู„ุณู†ุฉ ู„ุง ูŠุฎุทุฆ ุฅู„ุง ุงู„ุดุงูุนูŠ
“Tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafi'i." (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr).

Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :

ูŠุง ุฃุจุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู„ุง ูŠุตุญ ููŠู‡ ุญุฏูŠุซ
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.”

Imam Ahmad menjawab :

ุฅู† ู„ู… ูŠุตุญ ููŠู‡ ุญุฏูŠุซ ูููŠู‡ ู‚ูˆู„ ุงู„ุดุงูุนูŠ ูˆุญุฌุชู‡ ุฃุซุจุช ุดุฆ ููŠู‡
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr).

Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafi'i tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafi'i meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafi'i hadits ini adalah mansukh.

Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafi'i yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafi'i yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95).

Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafi'i sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafi'i tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafi'i yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafi'i kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafi'i tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafi'i semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau, tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafi'i melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid.

Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafi'i dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafi'i.

Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman Al-Qur'an menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga.

Wallahu a’lam bish-shawabi.